Sebera Pedulimu untuk Saudaramu!!!

Solidaritas Kebersamaan

Friday, March 13, 2009

Dibutuhkan; Presiden berkarakter Soeharto-Soekarno



JAKARTA, KOMPAS.com- Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kebangsaan (LKK) Viktus Murin di Jakarta, Sabtu (14/3), menyatakan, Indonesia dapat kembali menjadi negara yang disegani dunia internasional, jika dipimpin tokoh kuat dengan perpaduan karakter kepemimpinan Soekarno dan Soeharto.

Ia mengatakan itu sehubungan dengan adanya ekspose keinginan politik rakyat oleh Lembaga Kajian Kebangsaan (LKK) berdasarkan tren dinamika pemberitaan politik di berbagai media pada Januari-Maret 2009.

"Sosok pemimpin seperti Bung Karno dan Pak Harto amat dibutuhkan rakyat Indonesia kini dan ke depan, yang diyakini bisa menjadikan Indonesia sebagai negara yang tak hanya disegani, tetapi mampu membawa rakyatnya sejahtera dan makmur," katanya.

Terlepas dari berbagai kelemahan dua pemimpin kharismatik yang menjadi presiden pertama dan kedua RI tersebut, kata Viktus Murin, mayoritas rakyat memang menghendaki suatu pola kepemimpinan tegas, berwibawa dan disegani.

"Ada kesadaran kuat di lingkup publik bahwa sudah saatnya Indonesia tak hanya terjebak atau mau dijebak oleh urusan-urusan teknis semata di lingkup internal, sementara dalam konteks diplomasi global, kita terpuruk dan dianggap sebelah mata, tak hanya oleh Amerika, tetapi juga Singapura," katanya.

Karena itu, kata mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional (GMNI) itu, kekuatan di era Soekarno dan Soeharto, terutama di panggung diplomasi internasional, harus dikembalikan untuk semakin diperkuat.

"Caranya, memperkuat juga keadaan internalnya. Untuk itu, perlu pemimpin yang berkarakter, apakah seperti Soekarno atau Soeharto dan mungkin lebih baik jika perpaduan dua karakter tersebut," katanya.

Raksasa

Dari berbagai studi LKK, kata Viktus Murin, Indonesia sesungguhnya amat berpotensi berdiri sejajar dengan Amerika Serikat, dan China, jika dipimpin oleh tokoh yang memiliki kombinasi karakter kepemimpinan Bung Karno serta Pak Harto.

"Sekarang ini ’kan masih sulit menemukan tokoh dengan karakter kepemipinan seperti itu. Tetapi bukan berarti tidak ada. Mungkin ini soal perjalanan waktu dan sejarah," katanya.

Namun, Viktus Murin yakin Indonesia tak lama lagi akan tampil sebagai raksasa baru dari Asia bersama India dan juga Brazil (Amerika Latin).

Read More……

Ketika Nagabonar Perintahkan Berhenti Berpikir



"Jenderal, ku perintahkan kau berhenti berpikir. Kalau kau berpikir, aku pun ikut berpikir, pusing aku".

Kalimat tersebut diucapkan aktor kawakan Deddy Mizwar, yang sering disapa Jenderal Naga Bonar, dalam logat batak yang kental.

"Perintah" terhadap sang Jenderal tersebut diucapkan Deddy Mizwar bukan dalam sebuah akting film atau sinetron, tetapi dalam keadaan sadar tanpa rekayasa.

Meski "jenderal" Deddy Mizwar gelar palsu yang hanya ada di film Naga Bonar, namun sang Jenderal yang diperintahkannya itu adalah jenderal asli berbintang dua yang pernah menjabat Asisten Terotorial (Aster) Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Dia tidak lain Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi.

Belum sempat Saurip Kadi menjawab, "Jenderal Naga Bonar" kembali mengatakan, "Mulai saat ini, kau harus berbuat, bekerja untuk kesejahteraan rakyat!". Mendengar perintah tersebut, Saurip Kadi pun langsung menjawab, "Siap, Jenderal!"

Peristiwa nyata tersebut terjadi ketika Deddy Mizwar bersama Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi menyatakan kesiapannya memimpin bangsa Indonesia dalam acara "Refleksi Politik Jenderal Naga Bonar" di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (27/2).

Deddy Mizwar yang lahir di Jakarta, 5 Maret 1955, selama ini dikenal sebagai aktor senior dan sutradara kawakan. Saat ini ia tercatat masih menjabat sebagai Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional periode 2006-2009.

Sejumlah film dan sinetron berkualitas pernah dihasilkannya bersama Production House (PH) yang didirikannya pada 1997, antara lain sinetron "Mat Angin", serial sinetron ramadhan "Lorong Waktu", "Demi Masa", "Kiamat Sudah Dekat", film "Ketika", film "Nagabonar Jadi 2", dan terakhir sinetron "Para Pencari Tuhan". Deddy Mizwar bertindak selaku produser sekaligus aktor dan sutradaranya.

Julukan "Jenderal Naga Bonar" memang seolah tidak bisa lepas dari Deddy Mizwar karena perannya yang apik dalam film "Naga Bonar".

Kini, menjelang pesta demokrasi 2009, tiba-tiba nama Deddy Mizwar muncul di kancah perpolitikan nasional. Tidak tanggung-tanggung, ia menyatakan kesediaannya memimpin bangsa Indonesia dan bertarung dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

"Selama ini saya tidak pernah bicara politik. Kalau sekarang saya bicara politik, tentu ada sesuatu yang mendorong saya. Kenapa? Karena ada yang salah ’mengatur’ negeri ini," kata Deddy Mizwar.

Dalam pidato refleksi politiknya yang kerap diwarnai guyon dan celetukan segar itu, Deddy Mizwar mengatakan, pemerintahan demi pemerintahan telah berlalu, bahkan masa reformasi telah sepuluh tahun berjalan, namun masih menyisakan sekitar 40 juta orang yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Pemerintah, lanjutnya, tidak banyak bertindak melayani rakyat dan rakyat seringkali pasrah menerima keadaan. "Ini pertanda penurunan kualitas budaya bangsa. Pembangunan tidak menyentuh hal-hal yang fundamental," katanya.

Deddy pun mengkritik ketentuan perundangan yang tidak memberi peluang bagi calon presiden independen, serta ketentuan "parliamentary threshold" yang dikatakannya akan menghilangkan banyak suara rakyat yang memilih partai-partai kecil.

"Ketentuan mengenai pengajuan capres hanya oleh parpol atau gabungan itu telah merampok kedaulatan rakyat. Kenapa menghalangi munculnya pemimpin baru yang memberi harapan kepada rakyat. Apa kata dunia?" katanya.

Kalimat "apa kata dunia" yang menjadi ungkapan populer Jenderal Naga Bonar di film "Naga Bonar" itu kerap diucapkan Deddy Mizwar dalam pidatonya.

Meski demikian, Deddy yakin masih ada partai pejuang yang akan mengusung capres yang memenuhi sejumlah persyaratan, seperti mempunyai solusi untuk menghentikan keterpurukan, punya paradigma baru tentang sistem kenegaraan, punya keberanian, punya integritas dan tidak bermasalah.

"Kalau pemimpin bermasalah, jangankan memikirkan rakyat, menyelamatkan diri sendiri saja repot. Karena itu, Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi dan saya, ’Jenderal Naga Bonar’ siap mengembalikan kedaulatan rakyat dengan mengutamakan rakyat," katanya tegas yang disambut tepuk tangan hadirin.

Seperti tidak mau kalah dengan pidato "fenomenal" dan penuh canda dari sang Jenderal Naga Bonar Deddy Mizwar, Saurip Kadi yang mendapat giliran berpidato, tiba-tiba berdiri memberi hormat ala militer kepada Deddy Mizwar, yang meski sedikit kaget namun dengan sigap membalas hormat tersebut.

"Saya harus memberi hormat, karena Bang Deddy Mizwar ini lebih tinggi pangkatnya, dia bintang empat, saya cuma bintang dua," katanya yang disambut tawa dan tepuk tangan orang-orang yang hadir dalam acara itu.

Berbeda dengan Deddy Mizwar yang secara tiba-tiba menyandang gelar Jenderal dalam film Naga Bonar, Saurip Kadi dikenal sebagai prajurit TNI yang cakap dalam karirnya hingga menyandang gelar jenderal berbintang dua hingga pensiun.

Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi lahir di Brebes, Jawa Tengah, 18 Januari 1951. Karir militernya sebagai perwira pertama dimulai di lingkungan Kodam V/Brawijaya yaitu di Batalyon Infantri 521 Kediri, dilanjutkan di Brigade Infantri 16 masing-masing di Kediri dan Korem 083/Malang. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR RI (1995-1997), Staf Ahli bidang Khusus Menhankam, dan terakhir sebagai Asisten Teritorial Kepala Staf TNI AD.

Dalam pidatonya, Saurip Kadi menyebut sistem kenegaraan di Indonesia yang "semrawut" karena mencampuradukkan sistem presidensial dengan sistem parlementer.

Ia juga berpendapat, dalam negara demokrasi seharusnya ada pemisahan antara negara dan pemerintah.

"Ke depan, kita harus meninggalkan sistem yang semrawut ini. Kita harus menyusun sistem baru berdasarkan ciri bangsa, akal sehat dan budi luhur," kata penulis buku "Mengutamakan Rakyat" itu.

Untuk itu, Saurip Kadi mengajak seluruh komponen bangsa untuk duduk bersama melakukan rekonsiliasi atau islah.

Dalam acara tersebut, tampak hadir sejumlah pimpinan partai politik seperti Partai Buruh, Partai Pemuda Indonesia, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia.

Sulit Bersaing

Deddy Mizwar boleh-boleh saja menyatakan kesiapannya manjadi calon presiden, namun perlu mempertimbangkan berbagai hal seperti kemungkinannya untuk maju dengan dicalonkan oleh partai politik.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto mengatakan, tingkat popularitas Deddy Mizwar memang lebih tinggi dibandingkan para artis lain namun niatnya untuk maju bertarung di pemilihan presiden akan terkendala waktu dan faktor prinsip yaitu partai pendukungnya.

"Pertanyaannya bisa ’nggak dalam waktu yang singkat ini, partai-partai kecil yang mendukungnya berpacu dengan waktu memperoleh dukungan suara untuk memajukan Deddy," ujarnya.

Bima menilai, kesiapan Deddy Mizwar itu tergolong terlambat, meski gagasan yang diusungnya juga penting.

Menurut dia, modal popularitas Deddy sebenarnya bisa digunakan untuk membuat capres dari partai besar melirik peluangnya menjadi cawapres.

Senada dengan itu, pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris juga memperkirakan Deddy akan sulit untuk bersaing dengan calon presiden yang lain, kecuali jika ia bertarung dalam pemilihan kepala daerah.

"Kalau Pilkada ada calon independen, sedangkan capres butuh dukungan partai politik dan minimal 20 persen kursi sesuai UU Pilpres. Kalau partai yang mendukung tidak signifikan bagaimana?," katanya.

Jika hanya mengandalkan popularitas, nampaknya perjalanan politik Jenderal Naga Bonar masih akan mengalami banyak kendala untuk bisa memimpin bangsa Indonesia.
Kompas.com (11 Maret 2009)

Read More……

Golput, Demokrasi, dan Kesejahteraan

Perdebatan di seputar fatwa haramnya golput oleh MUI beberapa waktu lalu tampaknya masih belum mereda. Pasalnya, MUI sendiri—juga mereka yang berkepentingan terhadap suksesnya Pemilu 2009—seperti melupakan alasan utama di balik kemungkinan maraknya golput pada Pemilu 2009 nanti.

Di luar alasan teknis Pemilu—seperti tidak terdatanya sejumlah calon pemilih—setidaknya ada dua alasan mengapa sebagian masyarakat memilih golput. Pertama: alasan ekonomi. Intinya, sebagian kalangan yang memilih golput sudah semakin sadar, bahwa Pemilu, termasuk Pilkada, tidak menjanjikan kesejahteraan apapun bagi rakyat. Bagi mereka, selama ini terpilihnya para wakil rakyat, kepala daerah, atau presiden dan wakil presiden yang serba baru tidak membawa perubahaan apa-apa yang bisa sedikit saja meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal, sebagaimana dikatakan pengamat politik J Kristiadi, "Harapan masyarakat sebenarnya sederhana. Begitu mereka nyoblos atau mencontreng, kesejahteraan mereka bisa menjadi lebih baik dengan pemerintahan terpilih. Kenyataannya, ada ruang yang sangat luas dan terkadang manipulatif (menipu, red.) antara Pemilu dan kesejahteraan itu." (Kompas, 2/2/2009).

Kedua: alasan ideologis. Bagi calon pemilih yang golput dengan alasan ini, Pemilu (baca: demokrasi) tidak akan pernah menjanjikan perubahan apapun. Pasalnya, demokrasi hanya semakin mengokohkan sekularisme. Padahal sekularismelah yang selama ini menjadi biang dari segala krisis yang terjadi. Sekularisme sendiri adalah sebuah keyakinan dasar (akidah) yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim, sekularisme telah nyata menjauhkan syariah Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, sosial, dll).

Padahal mayoritas rakyat Indonesia yang Muslim sesungguhnya menyetujui penerapan syariah Islam itu di negeri ini. Hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei seperti PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2001), Majalah Tempo (2002). Roy Morgan Research (2008), SEM Institute (2008), LSM Setara (2008), dll yang rata-rata menunjukkan bahwa 70-80% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam dalam negara (Lihat kembali: Al-Islam, Edisi 434/XII/08). Dalam hal ini, pengamat politik Bima Arya mengatakan, adanya survey yang menyebutkan mayoritas masyarakat di Indonesia mendukung syariah memang cukup masuk akal. “Itu terjadi karena adanya kejenuhan dari masyarakat terhadap sistem yang ada,” ujarnya (Eramuslim, 19/12/08).

Pertanyaannya, jika mayoritas masyarakat saat ini pro-syariah, lalu mengapa partai-partai Islam tetap kalah dari partai-partai sekular pada Pemilu 2004 lalu dan kemungkinan juga pada Pemilu 2009 nanti? Jawabannya, karena boleh jadi mereka melihat tidak adanya satu partai Islam pun yang sungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariah Islam di Indonesia. Barangkali, karena itulah, di antara mereka yang pro syariah ini lebih memilih golput.

Walhasil, kenyataan inilah yang seharusnya dipahami oleh MUI terlebih dulu—juga oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu—yang menolak golput.

Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam secara kâffah dalam negara tentu merupakan kewajiban dari Allah SWT yang dibebankan kepada kaum Muslim. Kewajiban inilah yang sesungguhnya lebih layak difatwakan oleh MUI dan tentu selaras dengan fatwa MUI tahun 2005 yang telah memfatwakan haramnya sekularisme.



Demokrasi: Memiskinkan Rakyat

Kondisi masyarakat yang miskin alias tidak sejahtera jelas dialami oleh sebagian rakyat Indonesia saat ini. Padahal semua orang tahu, Indonesia adalah negeri yang kaya-raya. Seluruh jenis barang tambang nyaris ada di Indonesia. Minyak bumi, gas, batubara, emas, tembaga dan beberapa yang lain bahkan ada di negeri ini dengan kadar yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya juga luar biasa. Indonesia pun memiliki areal hutan tropis yang sangat luas. Dengan semua kekayaan alam yang melimpah-ruah itu, rakyat Indonesia seharusnya makmur dan sejahtera, dan tidak ada yang miskin.

Namun, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis sejak negara ini merdeka, sebagian besar kekayaan alam yang melimpah-ruah itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, yang sebagian besarnya bahkan pihak asing. Contoh kecil: Di Bumi Papua, kekayaan tambang emasnya setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp 40 triliun. Sayangnya, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Wajarlah jika gaji seorang CEO PT Freeport Indonesia mencapai sekitar Rp 432 miliar pertahun (=Rp 36 miliar perbulan atau rata-rata Rp 1.4 miliar perhari). Padahal, rakyat Papua sendiri hingga saat ini hanya berpenghasilan Rp 2 juta saja pertahun (=Rp 167 ribu perbulan). Pemerintah Indonesia pun hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org, 30/3/07).

Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT ExxonMobile Oil yang sudah berdiri sejak 1978, Namun, Aceh menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia. Jumlah penduduk miskinnya sekitar 28.5 persen.

Itulah secuil fakta ironis di negeri ini, yang puluhan tahun menerapkan demokrasi, bahkan terakhir disebut-sebut sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Ironi ini sebetulnya mudah dipahami karena watak demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini, secara faktual selalu berpihak kepada para kapitalis/pemilik modal. Demokrasi di negeri ini, misalnya, telah melahirkan banyak UU dan peraturan yang lebih berpihak kepada konglomerat, termasuk asing. Di antaranya adalah melalui kebijakan swastanisasi dan privatisasi. Kebijakan ini dilegalkan oleh UU yang notabene produk DPR atau oleh Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat. UU dan peraturan tersebut memungkinkan pihak swasta terlibat dalam pengelolaan (baca: penguasaan) kekayaan milik rakyat. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen.

Secara tidak langsung demokrasi juga sering menjadi pintu bagi masuknya intervensi para pemilik modal, bahkan para kapitalis asing. Lahirnya UUD amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Ditengarai ada dana asing USD 4,4 miliar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik dan UU Sumber Daya Air (SDA) yang sarat dengan kepentingan asing. Dampaknya, tentu saja adalah semakin leluasanya pihak asing untuk merampok sumber-sumber kekayaan alam negeri ini, yang notabene milik rakyat. Dampak lanjutannya, rakyat bakal semakin merana, karena hanya menjadi pihak yang selalu dikorbankan; hanya menjadi 'tumbal' demokrasi, yang ironisnya selalu mengatasnamakan rakyat.



Rakyat Sejahtera Hanya dengan Syariah Islam

Dengan sedikit paparan di atas, jelas bahwa jika memang semua kalangan menghendaki terwujudnya kesejahteraan rakyat—sebagaimana yang juga sering dijanjikan oleh para caleg dan elit parpol setiap kali kampanye menjelang Pemilu—maka tidak ada cara lain kecuali seluruh komponen bangsa ini harus berani mencampakkan sekularisme, yang menjadi dasar dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Selanjutnya, seluruh komponen bangsa ini harus segera menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam negara; baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, peradilan, sosial, keamanan dan pertahanan, dll. Yakinlah, hanya dalam negara yang menerapkan syariah secara kâffah-lah—yang dalam sistem politik Islam disebut dengan sistem Khilafah—kesejahteraan rakyat bakal benar-benar terwujud.

Bukti historis menunjukkan, sistem syariah telah mampu menciptakan kesejahteraan bagi jutaan manusia pada setiap kurun Kekhilafahan Islam pada masa lalu selama berabad-abad, tanpa pernah mengenal kata krisis.

Pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan rakyat merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), hanya dalam 3 tahun umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, "Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan." (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah 'Umar bin Abdul 'Azîz, hlm. 59).

Pada masanya pula, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).

Mahabenar Allah Yang berfirman:

Seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan pintu keberkahan bagi mereka dari langit dan bumi (QS al-A'raf [7]: 96)

Read More……

Golput Hak KOnstitusi, bukan Keyakinan Agama



Siapa pun yang mengusulkan fatwa haram terhadap keinginan warga negara yang memilih golput, harus mencabut usulnya tersebut. Pasalnya, golput merupakan hak konstitusional warganegara, hak memilih untuk tidak memilih. Sangat keliru dan tidak proporsional mengaitkan golput dengan keyakinan agama.

“Jadi, melarang golput, apalagi mengharamkannya, akan melanggar hak demokrasi warga negara Indonesia,” ujar Ketua Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman di Jakarta, Minggu (14 /12). “Ini meniru Soeharto. Dulu Soeharto bilang haram bila tidak memilih dan tentu maksudnya memilih Golkar. Jangan-jangan nanti ada fatwa haram bila tidak memilih partainya,” ujarnya.

Fadjroel mengatakan, Bawaslu tak paham demokrasi karena setuju usulan fatwa haram untuk golput yang diusulkan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Bawaslu setidaknya Wirdyaningsih yang menjadi anggotanya mesti mencabut dukungan atas fatwa haram golput itu.

“Demokrasi kita akan hancur lebur bila keyakinan agama dijadikan alat legitimasi untuk mencabut hak konstitusional warga negara, seperti hak golput. Bawaslu adalah penjaga demokrasi, bukan benalu demokrasi,”.

Read More……